Setahun pandemi: tantangan makin berat bagi anak muda dan sektor pendidikan

Foto oleh Macau Photo Agency | Unsplash

Oleh Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation.
Tulisan ini pertama kali terbit di The Conversation.

Genap satu tahun berlalu sejak Indonesia mencatat kasus COVID-19 pertamanya pada tahun lalu.

Sepanjang tahun 2020, pembatasan sosial di Indonesia telah memaksa sekitar 45 juta pelajar di Indonesia belajar dari rumah dengan berbagai peluang maupun hambatan.

Pandemi ini juga telah menyulitkan banyak lulusan baru dan anak muda dalam mencari pekerjaan—di tengah sistem perlindungan sosial dari negara yang juga belum memihak mereka.

Berikut beberapa sorotan dari satu tahun terjadinya pandemi COVID-19 dalam dunia pendidikan dan anak muda di Indonesia.

Tuntutan online learning yang terhambat

Senada dengan berbagai negara di dunia, pada awal pandemi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan belajar dari rumah untuk institusi pendidikan di Indonesia sebagai upaya untuk meminimalisir penularan virus.

Namun, dengan keterbatasan kepemilikan komputer atau laptop ditambah penetrasi internet Indonesia yang terendah di Asia Tenggara yakni 56% (di daerah seperti Papua bahkan hanya 31%), banyak guru dan pelajar di Indonesia mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran daring.

Ini diperparah dengan kompetensi guru Indonesia yang juga belum merata. Sebanyak 60% guru di Indonesia memiliki kemampuan sangat buruk dalam penggunaan teknologi pembelajaran.

Akibatnya, sepanjang 2020 - terutama di beberapa bulan awal pandemi - terdapat banyak laporan bahwa guru sekadar memberikan pelajaran dan tugas tanpa memberi bimbingan sehingga membuat pelajar merasa frustrasi dan kebingungan.

Dilema pembukaan sekolah tatap muka

Di tengah penyelenggaraan proses belajar dari rumah yang tidak optimal, hasil capaian belajar dan kesehatan mental pelajar terus menurun pada tahun 2020.

Bank Dunia, misalnya, memperkirakan hasil capaian belajar dari rumah rata-rata hanya sebesar 33% dari capaian belajar normal di dalam kelas.

Mereka juga memprediksi ini akan menurunkan skor membaca pelajar Indonesia pada penilaian Programme for International Students Assessment (PISA) dalam jangka panjang dan menyebabkan kehilangan pendapatan Rp 3,5 juta hingga 5,2 juta per tahun ketika mereka sudah bekerja.

Survei yang dilakukan Satuan Tugas Ikatan Psikologi Klinis Indonesia untuk Penanganan COVID-19 pun menunjukkan keluhan terbanyak (hampir sepertiga dari setidaknya 15.000 klien di 194 pusat layanan psikologi) selama Maret hingga Agustus 2020 berasal dari remaja yang stres akibat pembelajaran dari rumah.

Berbagai dampak ini membuat Kemendikbud membolehkan sekolah untuk kembali menjalankan sekolah tatap muka pada tahun 2021—dengan menyerahkan keputusannya ke level daerah.

Namun, hal ini dikritik berbagai pihak karena belum semua sekolah memiliki kapasitas untuk menjamin kesehatan murid di tengah pandemi yang belum mereda di Indonesia.

Survei dari Kemendikbud menunjukkan hanya sekitar 66% toilet dan fasilitas kebersihan sekolah berada dalam kondisi baik—selebihnya buruk atau tidak ada sama sekali—dan hanya 60% yang memiliki alat pengukur suhu tubuh.

Bahkan, hanya 50% madrasah di bawah Kementerian Agama dan 56% sekolah di bawah Kemendikbud yang disurvei memiliki fasilitas cuci tangan dengan sabun. Data itu juga menunjukkan bahwa fasilitas kebersihan sekolah di perkotaan jauh lebih baik daripada sekolah di pedesaan.

Ancaman meningkatnya pengangguran muda

Selain berdampak pada pelajar yang masih berada di sistem pendidikan, pandemi juga mencangam kesejahteraan anak muda terutama bagi mereka yang baru lulus dan sedang mencari kerja.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat pada tahun 2020 membuat banyak perusahaan memperlambat rekrutmen pegawai baru dan memperketat lapangan pekerjaan.

Studi tahun 2016 dari Jerman, misalnya, menemukan banyak anak muda yang berupaya memasuki pasar kerja yang memiliki banyak regulasi ketenagakerjaan dalam masa resesi berkemungkinan besar gagal mendapat pekerjaan.

Padahal, sebelum pandemi pun angka pengangguran muda (15-24 tahun) Indonesia adalah yang tertinggi kedua di Asia Tenggara (17.04%).

Bagi yang berhasil mendapat pekerjaan pun, studi lain pada tahun 2012 dari University of Toronto, Kanada dan Columbia University, Amerika Serikat, menemukan bahwa mereka akan mendapatkan pendapatan yang lebih rendah—bahkan hingga setidaknya 10 tahun sebelum mampu mengejar ketertinggalan besaran gaji mereka.

Tentu saja berbagai dampak negatif pandemi ini paling parah dirasakan oleh mayoritas anak muda di Indonesia yang justru memiliki status pendidikan rendah.

Pada tahun 2020, orang Indonesia berusia 20-39 tahun yang kuliah jumlahnya kurang dari 15%. Mayoritas hanya lulus SMA dan memiliki pendapatan Rp 2 juta per bulan dan banyak dari mereka (sekitar 50%) berada di sektor informal. Angka tersebut pun diproyeksikan akan naik akibat pandemi dengan kondisi kerja yang kemungkinan kian memburuk.

Belum dilindungi selama pandemi

Berbagai hal di atas pada akhirnya berpotensi menambah beban anak muda milenial yang tergabung dalam generasi terhimpit (sandwich generation).

Selama pandemi, misalnya, sekitar 68% anak muda dari sandwich generation ini mengaku mengalami penurunan pendapatan. Bahkan seperempat diantaranya menjual sebagian besar asetnya sehingga tetap menopang keluarganya.

Sayangnya, sejauh ini respons dari pemerintah masih didominasi oleh bantuan yang tidak tepat sasaran. Bantuan finansial dan program kartu Prakerja selama ini juga dianggap berjalan tidak efektif dan belum berhasil membantu anak muda di tengah pandemi

Mayoritas anak muda yang berbisnis mengaku belum menerima bantuan pemerintah, dan 80% akhirnya sekadar meminta tolong dari keluarga dan sahabat.

Melangkah ke depan

Kemendikbud sendiri merencanakan sekolah di Indonesia untuk sepenuhnya membuka kembali sekolah tatap muka pada bulan Juli 2021.

Program vaksinasi seluruh guru sekolah negeri dan swasta di Indonesia (yang berjumlah sekitar 5 juta) sudah mulai berjalan untuk mendukung rencana ini.

Namun, di tengah pandemi COVID-19 yang masih belum terkendali, segudang tantangan menanti pemerintah dalam rangka menyukseskan hal ini.

Di antaranya adalah memastikan guru honorer dan non-PNS lainnya yang jumlahnya lebih dari 1,5 juta atau sepertiga dari jumlah tenaga pengajar di Indonesia juga dilibatkan dalam vaksinasi.

Selain itu, keamanan pembukaan sekolah harus menjawab kenyataan banyaknya sekolah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas kebersihan yang baik.

Pemerintah juga wajib memperhatikan kesejahteraan anak muda Indonesia dengan lebih baik—tidak hanya meminta mereka untuk “kreatif” tanpa dukungan perlindungan sosial dan ekonomi yang memadai.

Tahun 2020 adalah periode yang menantang untuk anak muda di Indonesia. Sudah jatuh tertimpa tangga adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi anak muda Indonesia selama pandemi.

Selain di sektor pendidikan, mereka juga mendapat tantangan terkait masa depan ekonomi yang tak menentu. Belum lagi penekanan kebebasan sipil saat demonstrasi dan aktivitas politik lainnya.

Semoga 2021, keadaan bisa menjadi lebih baik []